Perjalanan sastra di indonesia ini terbilang cukup menyedihkan dari era Chairil hingga sekarang. Tidak heran jika para sastrawan tidak mendapat platform yang memadai di sini. Kalau mengingat sejarahnya memang dari era Soekarno Sastrawan/karya sastra masih minim akan apresiasi, mungkin juga karena waktu itu masih mudanya usia negara sehingga tidak memperhatikan hal-hal yang tidak menguntungkan negara dari sisi finansial maupun otoritasnya sampai mimpi buruk yang menjadi kenyataan di rezim Soeharto. Kuasa total!.
Bagi penguasa, sastrawan, penyair dan kawan-kawannya adalah musuh yang akan terus dihancurkan!. Mengapa? Sebab mereka mempunyai alat bernama sastra/tulisan yang dapat membawa hulu ledak yang kuat bagi pemerintah dan mengancam otoritasnya sebagai penguasa, ia dapat menghimpun massa akan sebuah ideologi yang disuarakan. Maka, atas alasan demikian hal-hal yang berkaitan dengan sastra tidak diberi ruang yang layak, selayak guru kehidupan. Hingga pujanga sekaliber W.S Rendra yang diakui dunia pun tak keturutan yang hanya menginginkan sebuah Kijang Innova tiga hari menjelang kewafatannya menurut pengakuan Cak Nun di acara dua tahun mengenang Rendra, sungguh ironis. Seorang guru/dosen di kelas mungkin memberi macam-macam pengetahuan yang akan diajarkan, namun seorang sastrawan/seniman memberi segala yang perlu untuk wacana kehidupan melalui pengalaman-pengalaman di dalam karyanya.
Bicara soal sastra di kelas mungkin agak dibuat-buat, tapi sejauh yang saya lihat dalam keseharian memang harus diakui jika fakultas atas nama sastra tidak menghasilkan apapun yang kini disebut sastrawan atau lebih kecil lagi kritikus sastra. Bahkan, menurut pengakuan dosen pun kata seorang teman memang fakultas sastra tidak dijadikan wadah untuk melahirkan sastrawan, tapi paling mentok hanya kritikus sastra, apresiator sastra, dan analis sastra. Itu pun tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, lihat berapa persen alumnus fakultas sastra yang menjadi saya sebutkan tadi? Sangat jarang. Padahal, level tertinggi dari belajar dan pengalaman adalah mencipta atau laku tapi di kampus hal itu sangat nihil. Bahkan, skripsi yang jadi parameter kelulusan mahasiswa pun kini terlihat gagal dan tak berdaya menghadapi enigma hidup ini, seperti yang pernah saya katakan kepada teman sebelumnya “Satu puisi hasil karya sendiri jauh lebih baik ketimbang ratusan bahkan ribuan skripsi yang menggunakan teori orang lain!”. Akhirnya mereka terlempar sediri oleh sistem kehidupannya setelah lulus dan bingung mau ngapain. Walhasil lahirlah ungkapan “Jurusan kok sastra, kamu mau kerja apaan?.”
Ya itulah bagian dari romantika hidup ini. Sastrawan tidak pernah lahir di dalam kelas dan dalam fakultas sastra sehingga yang kita temui dalam kehidupan nyata adalah mereka yang memulai perjalanan dari bawah, maka tidak mengherankan kalau sastrawan yang kita kenal sekarang adalah mereka yang dulunya dari jalanan menghayati kehidupannya dan melahirkan sastra plus menjadikannya sastrawan. Lalu terciptalah Chairil Anwar, Amir Hamzah, W.S Rendra, Umbu Landu Paranggi, Suwarna Pragolapati, Danarto, Widji Tukul, Putu Wijaya, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib hingga paling banter sastrawan yang menjadi guru besar yakni Sapardi Djoko Damono. Kelihatannya mereka semua menemukan keindahan dan kebijaksanaan itu bukannya di kelas, tapi di jalanan bernama kehidupan.
Lalu pertanyaannya benarkah sastra sebegitu menyedihkannya sampai-sampai terlantar di ranah kebudayaan kita sendiri ini?
Diskusi Majelisan #14
Komentar
Posting Komentar