(foto sumber: google)
Soe
Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16
Desember pada umur 26 tahun) adalah seorang aktivis Indonesia-Tionghoa yang
menentang kediktatoran berturut-turut dari Preside Soekarno dan Soeharto. Ia adalah
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun
1962-1969.
Sejak
kecil Soe Hok Gie sudah cerdas dan peka mengamati keadaan-keadaan sekitar. Ketika
ia melihat ketidakadilan hatinya berontak dan mengespresikannya melalui kritik
langsung baik secara verbal maupun literal, dan ia seorang yang gigih pada
pendirian, tidak takut oleh kekuasaan dan tidak terbelengu oleh identitas
rasialnya. Sewaktu kelas 2 SMP Strada di Jakarta, Gie pernah berdebat sengit
dengan gurunya tentang karangan “pulang” karya Andre Gide, tapi gurunya
mengatakan kalau itu karangan Chairil Anwar. Menurut Gie, Chairil Anwar hanya
sebagai penerjemah bukan pengarang. Padahal waktu itu membantah guru adalah hal
yang tabu bagi seorang murid ditambah gurunya juga galak-galak, tetapi Gie
berani melawan. Dan itu juga terjadi manakala ia sudah SMA Kanisius. Ia sudah
berani mengkritisi pemerintahan yang zaman itu memakai sistem “Demokrasi
Terpimpin”1. Inilah yang melahirkan pemikiran Gie “Generasi kita
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah generasi yang
akan memakmurkan Indonesia”. Pemuda yang visioner. Bahkan sampai akhir hayatnya
idealisme adalah barang yang ia jaga.
Tumbuhnya
Bibit-bibit Seorang Demonstran
Semakin
dewasa, pemberontakannya kian mulai terasa di atmosfer pemerintahan. Dan semua
semua perlawanan itu berpuncak pada aksi ’65-’66 ketika demonstrasi
besar-besaran mahasiswa Indonesia, namun yang paling menonjol adalah mahasiswa
UI. Dikisahkan Gie pernah menghadang laju Tank yang hendak mengusir pendemo. Ia
salah satu arsitek aksi Long Marc. Menuntut Tritura selain juga termasuk
dalam upaya melengserkan pemerintahan Soekarno.
Selain
aktif berdemonstrasi dan mengkritik pemerintah, Gie juga hobi dalam menonton
film juga naik gunung. Mungkin kegemarannya itu juga termasuk bagian dari
refleksinya setelah melakukan aksi. Ia mengambil jarak lalu mengolah jiwa dan memikirkan
kembali aksinya rtadi.
Gie
pernah berhubungan dengan 3 cewek dan siapa yang menyangka jika ketiga kisah
cintanya harus berakhir di pendakian Semeru 16 Desember 1969.
Gie
adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang
dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan,
Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Setelah Riri Riza merilis film
berjudul Gie pada tahun 2005, artikel-artikelnya disusun oleh Stanley dan Aris
Santoso yang diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan oleh penerbit GagasMedia.
(sumber: google)
Soe
Hok Gie memang telah lama tiada, tapi buah pikirannya menjadi ilham bagi banyak
kaum pergerakan, ia merupakan salah seorang tokoh pergerakan yang namanya tak
lekang oleh waktu dan tulisannya abadi.
Yogyakarta, 05 November 2017
Diskusi Majelisan #4
Catatan: 1Sistem
Demokrasi ala Orde Lama/Soekarno
Komentar
Posting Komentar