Mendengar kata penyair salon, bayangan kita pasti akan langsung tertuju pada sosok WS. Rendra . Yang dalam salah satu bait puisinya berbunyi ; Aku bertanya, tetatapi pertanyaanku membentur jidat para penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.(Sajak sebatang lisong,1977).
Di sini saya tidak akan membahas tentang “penyair”, yang sudah barang tentu cakupan akan hal itu teramat sangat luas, apalagi saya yang tidak benar-benar punya kapasitas untuk bahasan tersebut. Tetapi saya mencoba lebih fokus dalam ranah anak-anak muda saat ini, yang apabila membuat sajak seolah-olah ia telah menjadi penyair dadakan. Dan puisi yang dibuat pun hampir 90% lebih, pasti tentang cinta dan cinta. Jujur, saya sedang tidak ada masalah dengan cinta, hanya saja ada sedikit keheranan yang terus muncul ketika saya membuka sosial media dari teman-teman selama ini, baik itu dari Whatsapp, facebook, instagram, twitter dll, apalagi kalu bukan kata-kata tentang cinta, hampir semua selalu dihubungkan dengan cinta. Kata-kata yang bemunculan pun hampir sudah bisa ditebak, misalnya, hujan, genangan air hujan, mendung,sepi, senja, kopi, pantai, gunung, asap rokok, dan masih banyak lagi.
Keheranan saya semakin bertambah, ketika semua kata atau sajak itu ternyata ada beberapa yang berasal dari persoalan cinta hidupnya, yang bisa juga dikatan privasi. Kalau dilihat dari sisi dampak atau akibat, itu sangat bisa menjadikan manusia ringkih terhadap hidupnya sendiri. Manusia macam apa sih, yang mau dan bersemangat mengumbar permasalahan hidupnya untuk banyak orang. Kalau mau lebih jujur, sebenarnya mereka itu sedang dalam posisi atau titik dimana mereka benar-benar kesepian, yang tidak tahu lagi harus bercerita dengan siapa, dan jalan satu-satunya adalah membuat sajak lalu diteruskan lagi untuk di upload ke media sosial. Benar saja, ketika uploadan itu sedikit sekali yang merespon, baik itu dari like dan komen, kegelisahan hidupnya semakin bertambah, karena ia merasa tidak diperhatikan. Pun jika ini disebut dengan bahasa yang agak kasar, maka; mereka sedang mengemis untuk selalu diperhatikan setiap saat.
Pernah suatu hari, ketika saya sedang asyik ngobrol tentang sastra dan penyair dengan salah satu teman, tiba-tiba dia nyeletuk yang kurang lebihnya begini; “Cinta itu adalah bahasan yang dimensi atau ruang lingkupnya sangat agung, tetapi sekarang sudah tidak berlaku lagi, karena sekarang cinta telah berubah menjadi mainan yang kekanak-kanakan. Diam-diam saya mengamini ucapan teman saya itu, serta mencoba untuk menggali lagi hal-hal yang mungkin bisa saya temukan lewat pembicaran kami.
Sebenarnya saya sangat merasakan bahwa kita sedang dikepung dengan bahasa cinta yang melangit-langit. Bahasa yang laku di pasaran adalah cinta, bahkan karya-karya Sastra yang paling laku keras adalah yang isinya tentang romantisme percintaan. Banyak juga video ustadz atau kiai ketika berceramah yang dalam waktu berjam-jam itu sesekali juga membahas tentang percintaan, tapi ketika sudah masuk ke media sosial , tiba-tiba telah banyak yang di cut menurut selera mereka, khususnya pada bahasan cinta, lalu semuanya mendadak viral.
Semua penyair bisa dipastikan pernah membuat puisi cinta, karena ruh dari hidup adalah cinta itu sendiri. Namun bisa kita lihat para penyair senior kita, contohnya WS. Rendra, Chairil Anwar, Mas Iman Budhi Santosa dkk. Mereka tak pernah kehilangan wibawa saat membuat atau membacakan sajaknya. Sangat berbeda jauh dengan pemuda saat ini yang sudah membuat satu sajak saja berani menyebut dirinya penyair. Dan hidupnya pun cenderung cengeng serta lebay dalam merespon persoalan hidup, yang kebanyakan dari dirinya sendiri.
Tidak salah sih, ketika ada orang membuat sajak lalu diupload di media sosial, sebenarnya kita pun juga sangat senang, karena bisa belajar dari karya-karya teman kita sendiri. Dan juga bisa jadi sarana transfer energi untuk semangat berkarya. Asalkan kita tahu letak proposional dimensi karya itu ketika diupload atau dijadikan story di media sosial.
Sesekali kita juga harus melihat di sekeliling kita sendiri sedang terjadi apa, apakah ada sesuatu yang mesti kita bagikan untuk kesadaran bersama agar sama-sama saling membenahi diri sendiri dan juga lingkungan di sekitar kita. Paling tidak kita bisa urun rewang untuk membenahi permasalahan yang sedang terjadi, mungkin salah satunya adalah lewat karya puisi atau sajak itu tadi. WS. Rendra juga pernah berkata dalam sajaknya; Apalah arti berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. Dan itulah PR kita sekarang.
Yogyakarta, 2018
Penulis: Hanis A F
sangat menginspirasi sekali...
BalasHapus